Designer

"Kami bekerja beriringan dengan Garis Kematian"

Selasa, 22 Desember 2015

Another Me (1) -Jakarta . Jazz. J____?












Another Me 1
when i see myself on his eyes









Jakarta o  Jazz o  J____?

Jakarta, September 2006


          Riuh suara penonton tidak kalah menarik dari alunan musik jazz di panggung itu. Membuat gadis berambut panjang itu ikut berteriak walaupun ia tak pernah tau siapa yang menyanyi. Jazz adalah hidupnya. Yang berhasil membuatnya berkutat bertahun-tahun dengan genre musik satu ini.
          
          Ponselnya bergetar. Tertera sebuah nama tak asing. Ucapan halo terdengar lebih dulu di sebrang telepon

"Hm?"
"Where are you now?" 
"Jakarta."
"What? Indonesia? Ngapain kamu?"
"Mau ketemu papa."
"Her, jangan gila kamu. Kalo papa gak nerima kamu gimana?"

             Nada bicara orang itu terdengar khawatir.

"Gue udah 20 tahun. Lo gak berhak ngatur. Apalagi lo cuma bocah ingusan yang sok ikut campur."
"But I'm your sister. What is...? Jazz?"

tut.tut.tut 

o o o



Halmahera Seine. Perihal nama anehnya, itu adalah nama salah satu pulau di daerah timur Indonesia. Ia lebih suka orang-orang memanggilnya Hera. Ia tinggal di Bradford, Inggris. Bersama adik perempuan dan ibunya. Tapi satu tahun yang lalu ibunya meninggal tertabrak sebuah subway. Mungkin lebih tepatnya menabrakan diri. Sejak saat itu Hera makin frustasi. Sang putri kehilangan keceriaannya.
Penyebabnya? Dimulai dari keluarga kecilnya yang hancur. Ya, broken home. Ibunya selingkuh di sebuah bar bersama seorang pria inggris. Hera yang berumur 9 tahun saat itu belum mengetahu apa-apa, dibawa ke inggris bersama adik perempuannya dan meninggalkan ayah dan kakak laki-lakinya.
Waktu berjalan pesat, hingga pada tahun 2005, diumurnya yang ke sembilanbelas. Hera dikejutkan oleh berita bahwa ayah tirinya telah berselingkuh dengan sekretarisnya di kantor. Awalnya ibu tidak percaya. Namun di hari itu ibunya melihat sendiri kejadian yang orang-orang bilang di kantor ayah tirinya, mereka bertengkar, kata cerai terucap. Sepulang dari sana, ibunya menabrakan diri ke sebuah subway berkecepatan tinggi.
Satu tahun Hera menahan sakitnya diusir, di-bully, dikucilkan, dibuang, dan akhirnya itu malah membuat lubang hitam dihatinya semakn besar.


Java Jazz Festival selesai sejam yang lalu dan kakaknya belum juga datang menjemput. Hera mengirimi pesan singkat sekali lagi.

Hera

Woy! Lama!

Kak Ken

Liat depan.


          Hera menatap ke depan, disana sudah bertengger mobil mewah merek Lamborghini. Hera menganga. Kaca mobilnya terbuka, disana muncul wajah tampan Kenta Seine. Kakak laki-lakinya.
            Hera mendekat.

            “Hei. Lama gak liat lo ya.”
            “Ke-ken, ini mobil lo?” Masih pada posisi yang sama.
            “Yoi. Keren kan?
            “Gila. Nyolong dimana lo?”
            “Sialan. Udah buruan masuk!” Hera masuk dan duduk disamping kemudi. Sungguh ia tak percaya sudah menaiki mobil ini.
            Mobil Ken melaju mulus di jalanan Jakarta, melalui jalan-jalan yang sudah lama ia tinggalkan. Hera menghela napas. Suasana yang selalu ia rindukan.
            “Ada yang kangen nih. Are you okay?” Kata Ken tiba-tiba. Hera tertawa.
            “Jadi cowok jangan terlalu peka dong lo. Serem tau.” Ucap Hera menyembunyikan kesedihan dibalik tawanya.
            “Kadang gue juga kangen sama keluarga kecil gue yang dulu.”
Hening sejenak. Hera menghela napas, beriringan dengan terhentinya mobil Ken.
            Sekali lagi, Hera dibuat melongo melihat kemewahan yang berlimpah di kehidupan kakak dan ayahnya selama ini. Rumah didepannya tidak bisa disebut rumah, ini istana.
            “Ayo turun.” Ken mengulurkan tangan dari luar mobil. Hera terdiam sejenak, lalu menyambut uluran tangan Ken.
            “Ini rumah lo sama papa?”
            “Yap.” Mereka berjalan beriringan menuju pintu besar di depan mereka. Tiba-tiba Ken berhenti, Hera yang menyadari itu ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh kearah Ken.
            “Setelah lo dan nyokap pergi. Papa terus kerja keras ngelawan krisis ekonomi di keluarga sampe akhirnya usaha papa melejit dan jadi kayak gini...” Jelas Ken.
            “Hmm...” Hera mengangguk dan melanjutkan langkahnya, namun ditahan oleh Ken. Spontan Hera menoleh.
            “Satu lagi. Setahun yang lalu, papa menikah lagi dengan seorang ibu dua anak. Gue harap lo gapapa.”
            “Gue akan selalu baik-baik aja kok ken, selama gak ada yang ganggu gue. Tenang aja.”
            Ken tersenyum.



o o o

          Ibu tiri tidak seburuk yang ia bayangkan. Ibu tirinya ini cantik, berwibawa, keibuan, dan hal semacam itu yang ada dipikirkan Hera. Tante Reva punya itu semua. Namun ada yang salah dengan keluarga ini. Aneh. Rumah ini, oh bukan istana ini, tidak memiliki penghuni. Yang benar saja, selama ini yang dilihat nya adalah beberapa pembantu rumah tangga, tante Reva itupun jarang, papa yang setiap minggu keluar kota, dan sesekali Ken. Ken memberitahu bahwa tante Reva memiliki dua orang anak dari pernikahan sebelumnya. Namun, sampai sekarang yang dilihat Hera adalah putri nya yang bekerja sebagai model, itupun baru sekali. Namanya Jessica.
            Sudah satu minggu lebih tiga puluh hari Hera di istana serba ada ini. Namun, rumah ini seperti benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni. Dan mati. Tidak pernah ada kehangatan keluarga.
            
Sebenarnya, ada apa dengan keluarga ini?

            Hari ini seperti biasa di minggu pagi Hera meminum secangkir cokelat panas dan roti isi. Namun, hari ini sedikit berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Ada sebuah alunan dari lantai dua, alunan musik yang sangat Hera kenal. Gadis itu penasaran dan melangkahkan kaki ke lantai atas, suara itu terdengar dari arah koridor sebelah kiri, koridor yang tidak pernah ia pijak lantainya.
            Jazz. Ya, Hera sangat kenal ini. Musik jazz kesukaaan orang yang tidak akan pernah terlupakan. Setiap ia mendengar alunan musik jazz, ia akan mengingat orang itu. Rindu terus membeludak, tak bisa terbendung lagi. Perasaan rindu yang Hera rindukan.
            Alunan itu berasal dari pintu sederhana berwarna jingga dan terukir karya seni berwarna biru muda di pojok kanan bawah. Perlahan, Hera memutar kenop pintu di depannya 45derajat. Terlihat seseorang berperawakan tinggi, rambut ikal terpotong rapi sederhana dan bertubuh tegak sedang berdiri membelakangi Hera. Gadis itu hanya memperhatikannya untuk beberapa menit. Jantungnya terus berdegup kencang tak karuan, emosi bernama rindu itu sudah meluap-luap, keluar dari jantungnya tak dapat berhenti berdetak kencang.
            Pria itu berbalik, tersadar ada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Ia mengerutkan dahi, berusaha mengingat siapakah pemilik tubuh mungil dan paras cantik ini. Sepercik rindu hadir dalam relung harinya.
            Tiba-tiba memori berbunga hadir seperti film hitam putih yang diputar dengan cepat di kepalanya.
            “Hera?”
            Hera terpaku melihat seseorang di depannya. Pernah merasakan seperti menemukan puzzle yang telah bertahun-tahun lama hilang?
            Deg!
            “Lo inget gue kan? Gue J----?
            Seperti itu rasanya.



            Ken, gue gak baik-baik aja nih. Hidup gue bakal terganggu.