Another
Me 1
when
i see myself on his eyes
Jakarta o Jazz o J____?
Jakarta, September 2006
Riuh suara penonton tidak kalah menarik dari alunan musik jazz di panggung itu. Membuat gadis berambut panjang itu ikut berteriak walaupun ia tak pernah tau siapa yang menyanyi. Jazz adalah hidupnya. Yang berhasil membuatnya berkutat bertahun-tahun dengan genre musik satu ini.
Ponselnya bergetar.
Tertera sebuah nama tak asing. Ucapan halo terdengar lebih dulu di sebrang
telepon
"Hm?"
"Where are you now?"
"Jakarta."
"What? Indonesia? Ngapain kamu?"
"Mau ketemu papa."
"Her, jangan gila kamu. Kalo papa gak nerima kamu
gimana?"
Nada
bicara orang itu terdengar khawatir.
"Gue udah 20 tahun. Lo gak berhak ngatur. Apalagi lo
cuma bocah ingusan yang sok ikut campur."
"But I'm your sister. What is...? Jazz?"
tut.tut.tut
o o o
Halmahera Seine. Perihal nama anehnya, itu adalah nama
salah satu pulau di daerah timur Indonesia. Ia lebih suka orang-orang
memanggilnya Hera. Ia tinggal di Bradford, Inggris. Bersama adik perempuan dan
ibunya. Tapi satu tahun yang lalu ibunya meninggal tertabrak sebuah subway.
Mungkin lebih tepatnya menabrakan diri. Sejak saat itu Hera makin frustasi.
Sang putri kehilangan keceriaannya.
Penyebabnya? Dimulai dari keluarga kecilnya yang hancur.
Ya, broken home. Ibunya selingkuh di sebuah bar bersama seorang pria inggris.
Hera yang berumur 9 tahun saat itu belum mengetahu apa-apa, dibawa ke inggris
bersama adik perempuannya dan meninggalkan ayah dan kakak laki-lakinya.
Waktu berjalan pesat, hingga pada tahun 2005, diumurnya
yang ke sembilanbelas. Hera dikejutkan oleh berita bahwa ayah tirinya telah
berselingkuh dengan sekretarisnya di kantor. Awalnya ibu tidak percaya. Namun
di hari itu ibunya melihat sendiri kejadian yang orang-orang bilang di kantor
ayah tirinya, mereka bertengkar, kata cerai terucap. Sepulang dari sana, ibunya
menabrakan diri ke sebuah subway berkecepatan tinggi.
Satu tahun Hera menahan sakitnya diusir, di-bully, dikucilkan, dibuang, dan akhirnya
itu malah membuat lubang hitam dihatinya semakn besar.
Java Jazz Festival selesai sejam yang lalu dan kakaknya
belum juga datang menjemput. Hera mengirimi pesan singkat sekali lagi.
Hera
Woy! Lama!
Kak Ken
Liat depan.
Hera menatap ke depan,
disana sudah bertengger mobil mewah merek Lamborghini. Hera menganga. Kaca
mobilnya terbuka, disana muncul wajah tampan Kenta Seine. Kakak laki-lakinya.
Hera
mendekat.
“Hei. Lama
gak liat lo ya.”
“Ke-ken,
ini mobil lo?” Masih pada posisi yang sama.
“Yoi.
Keren kan?
“Gila.
Nyolong dimana lo?”
“Sialan.
Udah buruan masuk!” Hera masuk dan duduk disamping kemudi. Sungguh ia tak
percaya sudah menaiki mobil ini.
Mobil Ken
melaju mulus di jalanan Jakarta, melalui jalan-jalan yang sudah lama ia
tinggalkan. Hera menghela napas. Suasana yang selalu ia rindukan.
“Ada yang
kangen nih. Are you okay?” Kata Ken tiba-tiba. Hera tertawa.
“Jadi
cowok jangan terlalu peka dong lo. Serem tau.” Ucap Hera menyembunyikan
kesedihan dibalik tawanya.
“Kadang
gue juga kangen sama keluarga kecil gue yang dulu.”
Hening sejenak. Hera menghela napas, beriringan dengan
terhentinya mobil Ken.
Sekali
lagi, Hera dibuat melongo melihat kemewahan yang berlimpah di kehidupan kakak
dan ayahnya selama ini. Rumah didepannya tidak bisa disebut rumah, ini istana.
“Ayo
turun.” Ken mengulurkan tangan dari luar mobil. Hera terdiam sejenak, lalu
menyambut uluran tangan Ken.
“Ini rumah
lo sama papa?”
“Yap.”
Mereka berjalan beriringan menuju pintu besar di depan mereka. Tiba-tiba Ken
berhenti, Hera yang menyadari itu ikut menghentikan langkahnya, dan menoleh
kearah Ken.
“Setelah
lo dan nyokap pergi. Papa terus kerja keras ngelawan krisis ekonomi di keluarga
sampe akhirnya usaha papa melejit dan jadi kayak gini...” Jelas Ken.
“Hmm...”
Hera mengangguk dan melanjutkan langkahnya, namun ditahan oleh Ken. Spontan
Hera menoleh.
“Satu
lagi. Setahun yang lalu, papa menikah lagi dengan seorang ibu dua anak. Gue
harap lo gapapa.”
“Gue akan
selalu baik-baik aja kok ken, selama gak ada yang ganggu gue. Tenang aja.”
Ken
tersenyum.
o
o o
Ibu tiri tidak seburuk yang
ia bayangkan. Ibu tirinya ini cantik, berwibawa, keibuan, dan hal semacam itu
yang ada dipikirkan Hera. Tante Reva punya itu semua. Namun ada yang salah
dengan keluarga ini. Aneh. Rumah ini, oh bukan istana ini, tidak memiliki
penghuni. Yang benar saja, selama ini yang dilihat nya adalah beberapa pembantu
rumah tangga, tante Reva itupun jarang, papa yang setiap minggu keluar kota, dan
sesekali Ken. Ken memberitahu bahwa tante Reva memiliki dua orang anak dari
pernikahan sebelumnya. Namun, sampai sekarang yang dilihat Hera adalah putri
nya yang bekerja sebagai model, itupun baru sekali. Namanya Jessica.
Sudah satu
minggu lebih tiga puluh hari Hera di istana serba ada ini. Namun, rumah ini
seperti benar-benar sepi, seperti tak berpenghuni. Dan mati. Tidak pernah ada
kehangatan keluarga.
Sebenarnya, ada apa dengan keluarga ini?
Hari
ini seperti biasa di minggu pagi Hera meminum secangkir cokelat panas dan roti
isi. Namun, hari ini sedikit berbeda dari minggu-minggu sebelumnya. Ada sebuah
alunan dari lantai dua, alunan musik yang sangat Hera kenal. Gadis itu
penasaran dan melangkahkan kaki ke lantai atas, suara itu terdengar dari arah
koridor sebelah kiri, koridor yang tidak pernah ia pijak lantainya.
Jazz. Ya, Hera sangat kenal ini. Musik
jazz kesukaaan orang yang tidak akan pernah terlupakan. Setiap ia mendengar
alunan musik jazz, ia akan mengingat orang itu. Rindu terus membeludak, tak
bisa terbendung lagi. Perasaan rindu yang Hera rindukan.
Alunan itu berasal dari pintu
sederhana berwarna jingga dan terukir karya seni berwarna biru muda di pojok
kanan bawah. Perlahan, Hera memutar kenop pintu di depannya 45derajat. Terlihat
seseorang berperawakan tinggi, rambut ikal terpotong rapi sederhana dan
bertubuh tegak sedang berdiri membelakangi Hera. Gadis itu hanya memperhatikannya
untuk beberapa menit. Jantungnya terus berdegup kencang tak karuan, emosi
bernama rindu itu sudah meluap-luap, keluar dari jantungnya tak dapat berhenti
berdetak kencang.
Pria itu berbalik, tersadar ada
seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Ia mengerutkan dahi, berusaha
mengingat siapakah pemilik tubuh mungil dan paras cantik ini. Sepercik rindu
hadir dalam relung harinya.
Tiba-tiba memori berbunga hadir seperti
film hitam putih yang diputar dengan cepat di kepalanya.
“Hera?”
Hera terpaku melihat seseorang di
depannya. Pernah merasakan seperti menemukan puzzle yang telah bertahun-tahun
lama hilang?
Deg!
“Lo inget gue kan? Gue J----?
Seperti itu rasanya.
Ken, gue
gak baik-baik aja nih. Hidup gue bakal terganggu.